Minggu, 06 April 2014

Berapa Market Value Anda?

Judul di atas adalah judul sebuah artikel yang saya ambil dari Mingguan KONTAN edisi 25 Juni 2007. Artikel ini cukup membuka mata saya. Mudah-mudahan artikel ini juga bermanfaat bagi Anda.

Coba simak isi artikel ini:

Berapa Market Value Anda?

Jangan menggantungkan nasibmu pada kemurahan hati orang lain. Sandarkan hidupmu pada kemampuanmu sendiri. Berkatalah pada diri sendiri: if it is up to be, it is up to me!!

Itu petuah yang saya dapatkan dari seorang senior saat mulai merintis karier sebagai profesional. Tiba-tiba saya mengingatnya saat membaca buku yang sangat menggoda berjudul Top Class Competitors (2006).

Penulis buku tersebut, Stephane Garelli, adalah sosok yang sarat wibawa untuk berbicara tentang kebersaingan (competitiveness). Maklum, dia pernah menjadi Direktur Pengelola World Economic Forum sekaligus juga Direktur Kegiatan Davos Annual Meeting yang terkenal.

Garelli memperkenalkan konsep market value dan corporate value pada diri seorang pekerja atau karyawan. 

Corporate value adalah serangkaian kemampuan pekerja yang bermanfaat dan bernilai, namun hanya untuk perusahaan tempatnya bekerja saat ini.

Sementara market value berarti kompetensi karyawan tak hanya bermakna bagi perusahaannya saat ini, tapi juga bernilai bagi dunia bisnis secara luas.

Sering market value seseorang terbanting jatuh di bawah corporate value-nya. Tak jarang seorang profesional perusahaan besar kesulitan mencari pekerjaan setelah keluar dari organisasinya.

Tanpa sadar, seseorang bisa tergiring ke dalam peran dan fungsi pekerjaan yang sangat terspesialisasi serta tak ada duplikasinya di pasar pekerjaan secara umum.

Ia sangat ahli di bidangnya, akan tetapi keahliannya tidak dibutuhkan di banyak tempat lain. Inilah yang membuat market value-nya "enggak nyambung" dengan corporate value-nya.

Faktor lain yang mengakibatkan kesenjangan market value versus corporate value adalah jebakan psikologis berbentuk kebanggaan berlebihan terhadap pengalaman kerja.

Akibatnya, muncul kesimpulan seolah-olah pangjangnya pengalaman berbanding linier dengan luasnya keahlian. Padahal, pengalaman kerja tanpa faktor pembelajaran adalah sebuah konstanta yang statis.

Tatkala ada orang yang bertutur lantang bahwa dirinya sudah memiliki "pengalaman kerja sepuluh tahun", bukan mustahil itu sama artinya dengan "pengalaman kerja satu tahun yang diulang sepuluh kali".

Tambahan sembilan tahun lainnya tak mendatangkan keahlian baru ataupun nilai tambah yang berarti, kecuali sekadar pengulangan sebuah rutinitas.

Perusahaan harus ikut memupuk market value

Pasar tenaga kerja di banyak negara saat ini diwarnai oleh dua kontradiksi yang hadir secara bersamaan. Yakni, tingkat pengangguran yang hampir mustahil untuk diturunkan, namun diiringi dengan kelangkaan sumber daya manusia bermutu secara signifikan.

Karena itu, peningkatan market value seorang pekerja melampaui kebutuhan perusahaan tempatnya bekerja saat ini merupakan salah satu prioritas yang sangat relevan untuk dipertimbangkan.

Bagi karyawan, manfaat perluasan keahlian demi peningkatan market value dirinya jelas tak dapat disangkal. Kesanggupan untuk bertahan hidup dan kemampuan untuk bersaing akan meningkat karena memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap bursa pekerjaan.

Dia tak perlu khawatir tak mendapatkan pekerjaan yang bobotnya setara dengan kemampuannya, apalagi takut akan menjadi penganggur.

Namun, bagaimana terhadap perusahaan? Bukankah market value tinggi pada seorang karyawan justru akan menjadi ancaman serius bagi organisasi? Bisa saja sewaktu-waktu yang bersangkutan meninggalkan perusahaan untuk berpindah ke tempat lain, walaupun ia sangat dibutuhkan pada saat itu.

Dalam konteks ini, Garelli justru menegaskan bahwa perusahaan yang ingin meningkatkan daya saing, sesungguhnya, memiliki kepentingan yang besar untuk mengungkit market value karyawan. 

Alasannya? Karyawan yang sadar akan kemampuannya mendapatkan pekerjaan di tempat lain itu cenderung lebih fleksibel, bermotivasi tinggi, dan berani mengambil risiko dalam pekerjaannya saat ini.

Dan, organisasi membutuhkan semua karakter tersebut untuk memompa kemampuan kompetisinya. Sebaliknya, karyawan yang khawatir dengan employability-nya akan bertindak sebaliknya. Ia akan menujukkan perilaku yang defensif, semata-mata demi mengamankan posisi dan kedudukannya.

Boro-boro organisasi akan mampu mendorong daya saingnya, yang terjadi justru antarkaryawan saling berebut kesempatan untuk mengamankan periuk nasinya sendir-sendiri.

*******

If it is up to be, it is up to me!!

Minggu, 03 Maret 2013

Untuk Apa Kita Jatuh? (Bruce Wayne vs Keledai)

Kenapa itu gue pilih jadi judul, karena itu yang gue rasain sekarang. Tiba-tiba aja langsung inget sepotong dialog di film Batman Begins yang dibintangi Christian Bale.

Jadi waktu itu itu si Bruce Wayne jatuh ke sumur, terus ditolongin ayahnya. Di situ ayahnya nanya, ungtuk apa kita jatuh? Jawabannya simple, supaya kita bisa belajar untuk bangkit.

Gue terkesima banget sama kutipan itu... Dan saat gue "jatuh" beberapa waktu lalu, bareng beberapa teman, ungkapan inilah yang gue lontarkan ke mereka.

Bener, jatuh itu memang sakit. Tapi, dari situ kita bisa belajar untuk bangkit dan lebih tahan jika lain kali jatuh lagi. Setidaknya kita bisa menghindar untuk jatuh...

Tapi kayaknya ungkapan itu nggak berlaku buat keledai ya? Coba perhatikan ungkapan, "Hanya keledai yang jatuh dua kali di lubang yang sama"

Intinya, kita sebagai manusi punya pilihan, apakah mau seperti Bruce Wayne atau apa seperti keledai?

Kalau gue sih pilih jadi Bruce Wayne.. Gimana dengan elu?

Untuk Apa Kita Jatuh? (Bruce Wayne vs Keledai)

Kenapa itu gue pilih jadi judul, karena itu yang gue rasain sekarang. Tiba-tiba aja langsung inget sepotong dialog di film Batman Begins yang dibintangi Christian Bale.

Jadi waktu itu itu si Bruce Wayne jatuh ke sumur, terus ditolongin ayahnya. Di situ ayahnya nanya, ungtuk apa kita jatuh? Jawabannya simple, supaya kita bisa belajar untuk bangkit.

Gue terkesima banget sama kutipan itu... Dan saat gue "jatuh" beberapa waktu lalu, bareng beberapa teman, ungkapan inilah yang gue lontarkan ke mereka.

Bener, jatuh itu memang sakit. Tapi, dari situ kita bisa belajar untuk bangkit dan lebih tahan jika lain kali jatuh lagi. Setidaknya kita bisa menghindar untuk jatuh...

Tapi kayaknya ungkapan itu nggak berlaku buat keledai ya? Coba perhatikan ungkapan, "Hanya keledai yang jatuh dua kali di lubang yang sama"

Intinya, kita sebagai manusi punya pilihan, apakah mau seperti Bruce Wayne atau apa seperti keledai?

Kalau gue sih pilih jadi Bruce Wayne.. Gimana dengan elu?

Palmerah
Minggu 3/3/2013

Senin, 06 Agustus 2012

Ganti Nama

Pergantian nama blog gue dari "bisa (tak) biasa" menjadi "masluc-halus" lebih untuk gampang mengingatnya. Bukan buat yang membaca blog ini, tapi lebih ke gue-nya..
Ha ha ha.. betul banget.. gue sendiri sampe lupa nama blog gue yang "bisa (tak) biasa" itu. Setengah hari-an nyari-nyari nama itu, akhirnya ketemu juga.. Yang jelas ini karena faktor "U"..
Nah, pas Sabtu (4/8/2012) lalu pas buka bersama di Panti Tuna Ganda Cimanggis, temen-temennya istri gue manggil gue dengan sebutan "mas luc", setelah sebeklumnya di kantor juga dipanggil begitu, ya udah deh jadinya gue ubah aja nama blog ini ... Tambahan lagi tweet gue juga "mas_luc"... jadi klop dah..
Penginnya juga ganti muka, tapi kayaknya nggak segampang ganti nama blog...
Perubahan nama blog ini tidak mengurangi ide2 dan pemikiran2 gue... Semua masih seperti semula.. Melihat dan berpikir dengan cara yang tak biasa... THINK THE OPPOSITE... That's what I am...

Salamopposite...

Rabu, 01 Agustus 2012

Batman Biasa Tawuran?

Batman Biasa Tawuran?

Ha ha ha.. Pertanyaan itu yang nongol di kepala gue waktu nonton Batman terbaru : Dark Knight Rises..
Agak terheran-heran waktu lihat scene Batman berantem sama Bane, baik waktu pertama kali mereka ketemu atau pas adegan klimaksnya.
Gaya berantem Batman kok kayak anak sekolahan yang sering tawuran ya? Bak buk bak buk nggak karuan gitu.. Padahal gue kangen gaya berantem Batman yang rada-rada "misterius".. (sori nggak nemu kata yang pas).
Apalagi waktu Batman vs Bane berantem di tengah-tengah polisi sama penjahat saling baku hantam... Persis anak STM ketemu anak SMA mana gitu di jalanan...
Malah menurut istri gue itu adalah "The Worst Scene" di film Dark Knight Rises... Ha ha ha.. ternyata gue sepaham sama istri gue...
O ya satu hal lagi.. Kenapa lama-lama kostum Batman kayak robot gitu ya? Apa terinspirasi Iron Man?
Menurut gue, kostum Batman yang dipakai Michael Keaton (Batman, Batman Returns) yang paling sesuai sama komiknya...
Nggak kebayang kalau kemudian ada tokoh Robin yang identik dengan kostum warna-warni tapi bentuknya kayak kostum Batman sekarang.... Pasti orang sulit membedakan mana Robin mana Transformers... he he he...
Tapi biar nggak sreg sama kostumnya, nggak sreg sama gaya berantemnya, gue masih suka dan cinta Batman... Buat gue nggak ada matinye superhero yang satu ini..

Salamkelelawar!!

Rabu, 21 Maret 2012

Pelestari Lagu Anak-anak

Kalu ditanya tukang apa yang disukai anak-anak, dibenci ibu-ibu, dan dicuekin bapak-bapak adalah TUKANG ODONG-ODONG...

Ya tukang yang satu ini dari hari ke hari makin beragam bentuknya, mulai dari model Bianglala kayak di Dufan, mandi bola, atau sekadar ajrut-ajrutan biasa.. Ada juga yang model mobil keliling.. Yang belom ada emang yang model roller coaster... Mungkin sebentar lagi ada..

Nah, belom lama ini gw baru sadar bahwa ada nilai positif dari si tukang odong-odong ini... ya mereka kerap memutar lagu anak-anak untuk mengiringi pelanggannnya yang sebagian besar masih ingusan.. Nah kalo diperhatikan, lagu yang mereka setel tuh selalu lagu anak-anak yang emang bener-bener buat anak-anak...

Lagu-lagu kayak Naik Kereta, Tik Tik Bunyi Hujan (bener nggak ya judulnya begitu??), Pelangi, Bintang Kecil, dan sejenisnya selalu berkumandang lewat speaker yang apa adanya..

Pas ndengerin lagu-lagu itu, meski sambil lalu aja, ternyata membuat ingatan kita terlempar jauh ke belakang ke masa kecil.. Serasa berada di sebuah mesin waktu.. (Ah kayak novel zaman rekiplik ajah..)

Tapi justru itu yang bikin gue sadar, ternyata dengan menyetel lagu-lagu itu, para tukang odong-odong ini melestarikan lagu anak-anak, yang emang dari zaman rekiplik diciptain buat anak-anak..

Cukup kaget denger anak tetangga yang masih bocah nyanyi lagu SM*SH, Cherrybelle alias Cibi, atau apalah yang nggak jelas itu (maaf ya buat penggemar musik gituan).. Apa si anak nggak pernah diajarin orangtuanya lagu-lagu yang memang utk anak-anak ya? Atau lagu anak-anak yang jadul itu emang bener-bener udah nggak relevan sama zaman sekarang yang serbadigital, serbaonline, dan serbaserbi (lho??)..

Kembali ke tukang odong-odong, terlepas mereka dibenci kaum ibu (lantaran anaknya selalu merengek naik odong-odong meski cuma Rp 1.000-Rp 2.000 per sekali naik), konsistensi si tukang odong-odong menyetel lagu anak-anak yang ASLI patut diacungi jempol, boleh kiri, boleh kanan...

Mungkin perlu ada Odong-odong Award buat mereka, atau dimasukin dalam salah satu kategori pemenang di ajang penghargaan musik.. ha ha ha.. Gue sih ngebayangin para tukang odong-odong ini meraih gelar "Lifetime Achievement" atas dedikasi mereka terhadap pelestarian lagu anak-anak... Atau barangkali kategori "Lagu Anak-anak yang Paling Banyak Diputar di Odong-odong"..?

Ah apapun salut buat abang odong-odong.. yang penting mereka nggak nodong, apalagi sampai bengong...

Salamodongodong

Must Look

Tampungan Gilanya "must look"

Dear Mas Luc,

cie..cie..
blog baru niy..
yang buatin pasti anaknya keren bgt..
bisa di cek di  http://alwayswinz.blogspot.com/ hehe22x

semoga kegilaan lo bisa diabadikan dengan baik di sini...
semangat menulis

salam caur,
-winz-